Jumat, 17 Juni 2011

MENGHUBUNGKAN FILSAFAT PEMBELAJARAN MATEMATIKA

REFLEKSI FILSAFAT KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DISEKOLAH


Pada perkuliahan terakhir filsafat pendidikan matematika membahas yang telah dipelajari selama satu semester. Dimana filsafat dapat diartikan bagaimana cara berbicara mengenai hakekat dan makna dari segala sesuatu. Filsafat sebagai salah satu ilmu memiliki cabang yaitu salah satunya filsafat pendidikan matematika. Obyek yang menjadi bahasan filsafat umum adalah segala sesuatu yang ada dan mungkin ada. Sedangkan obyek filsafat pendidikan matematika adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dalam pendidikan matematika. Filsafat mempelajari bagaimana cara menempatkan diri sendiri. Kesadaran ruang dan waktu sangat penting dalam filsafat umum, begitu juga dalam filsafat pendidikan matematika. Kesadaran sendiri menjadikan seseorang memiliki kekuatan untuk dapat mengelola adanya resiko, tantangan, dan harapan dalam hidup.
Dalam perkembangan teknologi saat ini juga memberikan manfaat lain dalam pembelajaran matematika. Terkait dengan hal ini, Lewin dalam tulisanya menyatakan dua peran penting teknologi dalam pembelajarn matematika sebagai berikut “Technology plays two major roles in the teaching of mathematics; 1) technology provides us with computer algebra systems (and hand held calculators) that allow us to explore mathematics interactively and 2) technology provides a means of communication between people”.
Hal lain yang sebenarnya mempengaruhi proses belajar mengajar matematika, yaitu: bagaimana siswa belajar, bagaimana guru mengajar, apa yang harus dicapai oleh siswa, dan bagaimana guru menilainya. Dalam belajar matematika, setiap siswa memiliki cara belajar yang berbeda dan secara umum dibedakan menjadi empat kategori yaitu:  Alegori, integrasi, analisis, dan sintesis. Siswa yang belajar secara alegori menggunakan konsep yang sudah dipelajari sebelumnya untuk memahami materi atau konsep baru yang diajarkan dan menekankan penggunaan metode dalam bentuk yang mirip. Sementara siswa yang belajar secara integrasi berusaha membandingkan materi baru dengan konsep yang tlah dipahami, tetapi terkadang mereka mengalami kesulitan mencari hubungan antara kedua konsep tersebut. Kelompok siswa yang lain adalah siswa yang belajar dengan cara analisis, yaitu siswa yang mengharapkan penjelasan materi baru secara detail dan memikirkan ide baru dengan mengunakan pemikiran yang logis. Kelompok terakhir adalah siswa yang belajar dengan cara yang sangat abstrak dan berusaha mengembangakan strateginya sendiri yang lebih dikenal dengan kelompok siswa yang belajar secara sintesis.
Sementara itu, bagaimana guru mengajar, menentukan sasaran yang harus dicapai siswa, dan bagaimana hasil kerja siswa dinilai biasanya menyesuaikan dengan karakter guru yang mengajar serta metode dan pendekatan yang digunakan dalam proses belajar mengajar. Guru bisa saja menggunakan metode pengajaran langsung, penemuan, penemuan terbimbing, kooperatif, serta penggunaan teknologi yang tepat4. Untuk penilainnya, bisa menggunakan kertas kerja, penilaian dengan pertanyaan terbuka (open-ended), tes tertulis, fortofolio, penugasan, dan bentuk penilaian lainnya.
Dasar-dasar  filsafat keilmuan terkait dalam arti dasar ontologis, dasar epistemologis yaitu:

1.   Dasar ontologis ilmu pendidikan
Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapokan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya). Agar pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Didalam situiasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapipada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribai pula, terlpas dari factor umum, jenis kelamin ataupun pembawaanya. Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh demikian makaa menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas factor hubungan serta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan egitu pendidikan hanya akan terjadi secar kuantitatif sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil THB summatif, NEM atau pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi jadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.
2.   Dasar epistemologis ilmu pendidikan
Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalaipun pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namuntelaah atas objek formil ilmu pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin stui empirik dengan studi kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitaatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hnya pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan unuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomen pendidikan maka vaaliditas internal harus dijaga betul dalm berbagai bentuk penlitian dan penyelidikan seperti penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian ex post facto. Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahaawa dalam menjelaskaan objek formaalnya, telaah ilmu pendidikan tidaak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebgaai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hnya menggunkaan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall &Buchler,1942).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar